SAKTAH DALAM AL-QUR'AN
1. Saktah dalam QS al-Kahfi ayat 1-2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (١) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (٢)
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, (Dia menurunkan Al-Qur’an) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik” (QS Al-Kahfi: 1-2).
Ini adalah contoh saktah pada alif perubahan dari tanwin. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (عِوَجًا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz (قَيِّمًا) yang bermakna lurus sebagai sifat/na’at dari lafadz (عِوَجًا) yang bermakna bengkok. Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah ”Dia tidak menjadikannya bengkok yang lurus”. Padahal, yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah (قَيِّمًا) terbaca nashab/fathah sebab amil fi’il berupa lafadz (أنزله) yang disimpan sehingga makna yang dikehendaki adalah “Dia menurunkan Al-Qur’an sebagai bimbingan yang lurus yang tidak ada kebengkokan sedikitpun di dalamnya” (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha [Beirut: Muassasah ar-Risalah Beirut], 1997, vol. 2 hal. 55).
2. Saktah dalam QS Yasin ayat 52:
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (٥٢) Mereka berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya)” (QS Yasin: 52). Ini adalah contoh saktah di tengah ayat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَرْقَدِنَا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz
(هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ)
adalah satu rangkaian dalam ucapan orang kafir yang berupa
(يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا).
Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah “Mereka (orang kafir) berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur), inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih”. Padahal, menurut riwayat Qatadah yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah
(هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ)
“inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih” sebagai ucapan orang yang beriman, sedangkan
(يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا)
“Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)” sebagai ucapan orang kafir. Dan saktah disini sebagai pemisah dua ucapan yang dilontarkan oleh dua kelompok yang berbeda yaitu orang beriman dan orang kafir (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha, 2: 55)
3. Saktah dalam QS Al-Qiyamah ayat 27:
وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (٢٧)
“Dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?” (QS Al-Qiyamah: 27). Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَنْ رَاقٍ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (مَنْ رَاقٍ) yang dibaca berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (مرّاق) yang bermakna “orang yang sering berperang”. Seandainya tidak dibaca saktah bisa saja pendengar memahami ayat berupa
(وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ)
yang bermakna “Dan dikatakan (kepadanya), “Wahai orang yang sering berperang”. Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr [Kairo: Dar al-‘Aqidah], 2006, hal. 10).
4. Saktah dalam QS Al-Muthaffifin ayat 14:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka” (QS Al-Muthaffifin: 14). Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (بَلْ رَانَ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (بَلْ رَانَ) yang berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (برّان) yang bermakna “dua orang yang menepati janji (bentuk ganda/tatsniyyah dari lafadz بر)”.
Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr, hal. 10).
Komentar
Posting Komentar