Hikmah Zakat Menurut Imam Al-Ghazali


Imam al-Ghazali dalam bab  Asrar al-Zakah, salah satu topik dalam Ihya ‘Ulum al-Din pada jilid satu, menginspirasi  kita untuk menyelami makna zakat lebih dalam. Sebab baginya memahami kompleksitas makna zakat secara mendalam merupakan salah satu tugas (al-wazhifah) seseorang yang ingin menempuh jalan akhirat melalui zakat (murid thariq al-akhirah bi zakatih). Di sinilah kemudian Imam Al-Ghazali mengajukan tiga makna.

Pertama, zakat sebagai latihan untuk memfokuskan cinta kita hanya kepada Allah Swt.. Pada dasarnya manusia mencintai harta benda. Sementara ketika seorang hamba mengucap dua kalimat syahadat itu artinya ia konsekuwen untuk bertauhid, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Termasuk juga tidak menyisakan sedikit pun celah dalam hati bagi selain cinta kepada-Nya. Ihya Ulumuddin juz 1 hlm. (271)

Imam Al-Ghazali menjelaskan

وشرط تمام الوفاء به أن لا يبقى للموحد محبوب سوى الواحد الفرد فإن المحبة لا تقبل الشركة

“Syarat bagi purnanya tauhid manakala di hati orang yang bertauhid tidak tersisa sedikitpun cinta kepada selain-Nya. Sebab cinta itu sejatinya memang tak terbagi.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz 1, h. 272).

Dengan zakat (mengeluarkan sebagian harta), itu berarti seorang hamba sejatinya sedang melatih diri untuk melepaskan diri dari belenggu cinta duniawi menuju cinta yang sejati, yaitu cinta kepada Allah. Hal ini sekaligus sebagai pembuktian bahwa syahadatnya tidak hanya di lisan.

Kedua, zakat sebagai proses pembersihan diri dari sifat bakhil. Imam Al-Ghazali menggolongkan bakhil ke dalam sifat-sifat destruktif (al-muhlikat) berdasarkan hadis,

ثَلَاث مهلكات: شح مُطَاع، وَهوى مُتبع، وَإِعْجَاب الْمَرْء بِنَفسِهِ

“Tiga perkara yang mencelakakan: sifat kikir yang dipatuhi, syahwat yang dituruti, dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.”

Imam Al-Ghazali juga mengutip QS. al-Hasyr ayat 9,

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan barang siapa yang dijaga dari sifat kikir yang sangat, mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

Sifat kikir ini, masih menurut Imam al-Ghazali, hanya bisa hilang dengan cara membiasakan diri untuk mendermakan harta. Imam Al-Ghazali menegaskan,

فحب الشيء لا ينقطع إلا بقهر النفس على مفارقته حتى يصير ذلك اعتيادا فالزكاة بهذا المعنى طهرة أي تطهر صاحبها عن خبث البخل المهلك

“Cinta terhadap sesuatu tak akan bisa dihentikan kecuali dengan memaksa diri untuk memisahkan diri dari sesuatu itu. Hingga pada akhirnya akan terbiasa (berpisah dengan yang dicintai itu). Dalam pengertian ini, zakat adalah pembersihan, ia membersihkan jiwa muzakki dari kotornya sifat bakhil yang membinasakan.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz 1, h. 272).

Ketiga, zakat sebagai bentuk syukur atas nikmat harta (al-ni’mah al-maliyyah) yang tak terhitung jumlahnya. Pada bagian ini, Imam Al-Ghazali menyentil orang yang enggan mensyukuri nikmat harta melalui makanisme zakat melalui perkataannya,

وما أخس من ينظر إلى الفقير وقد ضيق عليه الرزق وأحوج إليه ثم لا تسمح نفسه بأن يؤدي شكر الله تعالى على إغنائه عن السؤال وإحواج غيره إليه بربع العشر أو العشر من ماله

“Betapa hinanya dia yang melihat seorang fakir yang sempit rizkinya nan membutuhkan uluran tangannya, tetapi dia tetap enggan bersyukur kepada Allah yang telah memenuhi kebutuhannya sehingga ia tak perlu meminta-minta dan menadahkan tangan untuk sekadar mendapat 2,5 % dari harta orang lain.”

Penyusun: Rikin 

Referensi: Ihya Ulumuddin Juz. 1 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keberadaan Guru Ngaji TPQ, Madin, dan Majelis Ta'lim di Pelosok Desa: Kontribusi Nyata Pondok Pesantren untuk Umat dan Bangsa

Bobotsari_Monitoring ZI Kankemenag Purbalingga

Dampak Negatif Judi Online: Akar Masalah di Balik Banyak Kasus Kriminal