FILOSOFI ZAKAT MENURUT Prof. QURAIS SIHAB


M Quraish Shihab, guru besar tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tapi kalau terpaksa dengan tekanan penguasa.

Karena itu, menurut Quraish, agama menetapkan amilin atau petugas-petugas khusus yang mengelolanya, di samping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrowi terhadap mereka yang enggan. Mengapa demikian? Menurut Quraish, untuk menjawab pertanyaan ini, paling tidak ada tiga jawaban yang dikemukakan dalam uraian ini untuk menggambarkan landasan filosofis kewajiban zakat.

Filosofi zakat yang pertama adalah istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi). Allah Swt adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya, pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT).

Manusia yang dititipi itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh Sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya.

Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun demikian. Sebab, Allah swt menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Karena itu, harta benda harus diarahkan guna kepentingan bersama.

Allah melarang manusia memberikan memberikan harga benda kepada siapapun yang diduga kuat akan menyia-nyiakannya. Sebab, tindakan itu akan merugikan semua pihak. Sejak awal, Tuhan telah menetapkan bahwa harga hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama.

Bahkan, pada mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian dari harta tesebut kepada pribadi-pribadi yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Kedua, Solidaritas sosial. Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut , namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya.

Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material yang diperolehnya berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung dan disadari maupaun tidak.

Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian, wajar jika Allah memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zkaat) dari harta yang diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.

Ketiga, Persaudaraan. Manusia berasal dari satu keturunan, antara seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Kita semua bersaudara.Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domisili dan sebagainya.

Disadari oleh kita semua, bahwa hubungan persaudaraan menuntut bukan sekadar hubungan take and give (mengambil dan menerima), atau pertukaran manfaat, tetapi melebihi itu semua, yakni member tanpa menanti imbalan atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi, jika mereka hidup bersama dalam satu lokasi.

Nah, kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.

Editor: Rikin Abu Khamid Muhammad

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keberadaan Guru Ngaji TPQ, Madin, dan Majelis Ta'lim di Pelosok Desa: Kontribusi Nyata Pondok Pesantren untuk Umat dan Bangsa

Bobotsari_Monitoring ZI Kankemenag Purbalingga

Dampak Negatif Judi Online: Akar Masalah di Balik Banyak Kasus Kriminal