Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Hukum menikahi wanita yang hamil akibat perzinaan merupakan isu yang diperselisihkan di kalangan ulama dan mazhab. Mayoritas ulama serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) membolehkan pernikahan tersebut dengan syarat-syarat tertentu, sementara sebagian ulama dari mazhab Malikiyah dan Hanbaliyah melarangnya hingga wanita tersebut melahirkan, demi menjaga kejelasan nasab anak.
Pendapat Mayoritas (Membolehkan)
Mayoritas ahli fikih (jumhūr al-fuqahāʼ), termasuk KHI, membolehkan menikahi wanita hamil karena zina, terutama jika pria yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya.
Syarat yang harus dipenuhi adalah:
Wanita tersebut bertobat dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT atas perbuatannya.
Menjalani masa istibra’, yakni memastikan rahim bersih dari air mani laki-laki lain. Hal ini biasanya dilakukan melalui masa iddah satu kali haid.
Setelah kedua syarat ini terpenuhi, maka pernikahan dianggap sah menurut pandangan ini.
Pendapat Sebagian Ulama (Mengharamkan)
Sebagian ulama, termasuk dalam mazhab Malikiyah dan Hanbaliyah, berpendapat bahwa menikahi wanita hamil akibat zina adalah haram hingga wanita tersebut melahirkan.
Alasan utama dari pendapat ini adalah demi menjaga kejelasan nasab anak. Mereka berpegang pada kaidah: "Anak dinisbatkan kepada pemilik ranjang yang sah." Oleh karena itu, wanita hamil karena zina tidak boleh dinikahi, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki lain, hingga anak hasil perzinaan tersebut lahir.
Pentingnya Istibra’ dan Tobat
Dalam pandangan ulama yang memperbolehkan pernikahan tersebut, istibra’ dan tobat merupakan dua syarat utama. Istibra’ diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada campuran air mani lain dalam rahim, sementara tobat adalah bentuk penyesalan dan komitmen memperbaiki diri di hadapan Allah SWT.
Kesimpulan
Meski terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, secara umum KHI membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina, selama dua syarat utama—tobat yang tulus dan telah melalui masa istibra’—telah terpenuhi. Dengan demikian, pernikahan tersebut dapat dianggap sah menurut hukum Islam yang dianut secara mayoritas di Indonesia.
Penulis: Rikin
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar