METODE DAN SYARAT MEMBACA AL-QURAN
Membaca Al-Quran jelas memiliki faedah dan keistimewaan yang sangat luar biasa. Setiap hurufnya, kita tahu, diganjar dengan sepuluh kebajikan. Setiap seseorang membaca Al-Quran, hal itu telah dinilai sebagai ibadah.
Di masyarakat kita pun rupanya ada berbagai cara atau metode dalam membaca Al-Quran. Ada yang membaca dengan cara perlahan-lahan, atau ada juga yang membaca dengan cara cepat.
Di kalangan ulama ahli qiraat Al-Quran, cara atau metode membaca Al-Quran memiliki empat metode yang biasa diamalkan oleh pembaca Al-Quran.
Pengalaman Penulis sendiri ketika belajar Al-Qur'an kepada Abah K.H. Masyhudi Munir Al-Hafidz (Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al-Mushafiyyah), dalam mengajarkan Al-Qur'an kepada penulis dan juga santri-santri yang lain, beliau menggabungkan antara metode Tartil dan Tahqiq.
Tujuannya antara lain, Tahqiq agar santri bisa melafadzkan huruf-huruf sesuai dengan Makhorijul Huruf, dan memenuhi sifat-sifat huruf Hijaiyah secara baik dan benar. Dan metode Tartil, bertujuan untuk membaguskan atau mentahsin bacaan, juga agar santri belajar memahami dan merenungkan makna dari ayat-ayat yang dibaca.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Tajwid sebuah panduan membaca Al-Quran secara Murattal dan Mujawwad, yang diterbitkan oleh Tim Penyusun LPTQ Propinsi Jawa Tengah). Dalam buku ini menjelaskan, ada empat tingkatan bentuk bacaan atau metode membaca Al-Quran, yaitu:
1.
الترتيل : Tartil
ialah membaca Al-Quran dengan lamban, sehingga terlihat semua Makhroj dan Sifat
setiap huruf, sambil merenungkan arti lafadz yang dibaca. Metode ini berdasarkan Firman
Allah Swt.:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا
Dan bacalah
Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil:
4)
Dalam kitab Khozinatul asror, karya Syekh Sayyid Muhammad haqqi Annazily
dijelaskan, bahwa yang dimaksud tartil adalah:
لاتستعجل فى قراءتك
Janganlah kamu tergesa-gesa di dalam bacaanmu.
Maksudnya, bacalah Al-Qur'an dengan tartil (perlahan-lahan) karena sesungguhnya bacaan seperti ini membantu untuk memahami dan merenungkan makna yang dibaca, dan memang demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sehingga Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. bila membaca Al-Qur'an yaitu perlahan-lahan sehingga bacaan beliau terasa paling Iama dibandingkan dengan orang Lain.
2. التحقيق : Tahqiq adalah bentuk bacaan yang sama
dengan tartil, dengan sedikit diperlamban. Bentuk qiroat ini biasanya digunakan
pada Majlis-majlis Ta’lim. (sumber: Ilmu Tajwid sebuah panduan membaca Al-Quran
secara Murattal dan Mujawwad, Tim Penyusun LPTQ Propinsi Jawa Tengah).
Metode membaca secara tahqiq ini mengusahakan makharijul huruf dan pelafalan huruf hijaiyah dengan tepat, memenuhi panjang pendeknya bacaan, juga memperjelas hamzah dan harakatnya. Selain itu, kaidah tajwid terkait izhar, idgham, serta hukum-hukum lainnya terkait huruf "nun" dan "mim" yang diberi harakat sukun juga diperhatikan betul. Dan tak lupa dicermati kaidah waqaf, saktah, juga letak-letak pemberhentian ayat.
Dengan cara yang demikian, lisan dibiasakan membaca Al-Quran sesempurna mungkin. Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bacaan semacam ini dianjurkan betul bagi para pelajar Al-Quran, utamanya di tingkat pemula.
Tujuannya supaya bacaan orang tersebut tidak melewati batas yang dapat mencederai bacaan Al-Quran sendiri saat kelak sudah lebih lanyah, lancar membaca Al-Quran.
3. الحدر : Hadr ialah membaca Al-Quran dengan cepat, dan tetap memperhatikan hukum-hukum bacaannya.
Cara ini mempercepat bacaan dengan memperpendek bacaan-bacaan mad, tetapi tetap dengan memperhatikan tanda baca untuk menepati tata bahasa Arab dan memantapkan lafalnya.
Cara yang paling
sering diamalkan juga adalah mengurangi ghunnah, atau mengurangi panjang bacaan
mad. Yang jelas, bacaan ini tidak mencapai cara membaca Al-Quran yang sempurna
sebagaimana tahqiq.
4. التدوير : Tadwir ialah bencuk bacaan antara Tartil dan Hadr. Cara ini merupakan pertengahan antara cara tahqiq yang begitu pelan dan mantap dan hadr yang begitu ringkas dan cepat.
Untuk metode tadwir ini, hal yang terpenting adalah bacaan-bacaan
mad yang tidak dipenuhkan, seperti pada mad ja’iz munfashil, tidak sampai
panjang enam ketukan. Tidak terlalu pelan, tetapi juga tidak disempurnakan
betul.
Hal yang terpenting dari keempat metode bacaan itu, adalah pentingnya memahami tajwid dan pemberhentian baca Al-Quran (waqaf). Tentu di sekitar kita, baik saat tadarusan, atau khataman Al-Quran, ada yang membaca Al-Quran dengan cepat, atau pelan-pelan.
Sebaiknya bacaan ini
disesuaikan dengan kebutuhan dan target yang ingin dicapai. Semisal pada even
khataman, tentu para hafizh Al-Quran memiliki cara membaca sendiri untuk
mengkhatamkan lebih cepat.
Dari empat tingkatan bentuk bacaan Al-Quran, Tartil
adalah bentuk bacaan Al-Quran yang terbaik di antara keempat bentuk bacaan
tersebut. Sebab Al-Quran diturunkan dengan bentuk Tartil
ورتلناه
ترتيلا/ ورتل القرآن ترتيلا
SYARAT DALAM MEMBACA
AL-QURAN
Syarat diperbolehkannya membaca
Al-quran ada 3 macam:
1.
صحة السند (Shihhatus Sanad) artinya harus pernah mengaji
berhadapan langsung (مشافهة) ) dengan
guru yang mempunyai sanad secara mutawatir sampai dengan Nabi Muhammad SAW.
2.
Harus sesuai dengan
aturan bacaan bahasa Arab (Ilmu Nahwu), walaupun Do’if.
3.
Al-Quran yang dibaca
harus tertulis sesuai dengan aturan-aturan Khot Usmany, dan atau yang mirip
dengan Khot Usmany.
Apabila salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka Qiroatnya digolongkan dalam Qiroat Syaddzah (شاذة )
Catatan: Syarat yang pertama : صحة السند (Shihhatus Sanad) dapat pula diartikan bahwa orang diperbolehkan membaca-apalagi mengajar Al-Quran harus pernah atau sudah berguru terlebih dahulu dan sesuai dengan bacaan gurunya.
Cara berguru Al-Quran ada tiga macam, yaitu:
a.
Guru membaca murid
mendengarkan, kemudian murid menirukan bacaan guru. Cara ini juga yang pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengajar Sahabat Ubayy bin Ka’ab.
b.
Murid membaca guru
mendengarkan.
c.
Guru membaca murid
mendengarkan.
Pentingnya Musyafahah dalam
belajar sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah
mengatakan:
ولقاء المشيخة مزيد كمال في التعليم والسبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم
وأخلاقهم وما ينتحلونه به من المذاهب والفضائل: تارة علماً وتعليماً وإلقاءً،
وتارة محاكاة وتلقيناً بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة والتلقين أشد
استحكاماً وأقوى رسوخاً
“Bertemu langsung dengan guru
menambah kesempurnaan di dalam pengajaran. Sebabnya adalah bahwa manusia
mengambil pengetahuan, akhlak dan berbagai macam kecenderungan berupa mazhab
dan keutamaan. Adakalanya dengan cara mengetahui, mengajar dan menyampaikan;
adakalanya menceritakan dan menuntun secara langsung. Namun, hasil kecakapan
(ilmu) dari metode secara langsung dan dituntun lebih melekat dan menancap”
(Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 348).
Al-Imam al-Nawawi mengatakan:
قالوا ولا يأخذ العلم إلا ممن كملت أهليته وظهرت ديانته
وتحققت معرفته واشتهرت صيانته وسيادته فقد قال ابن سيرين ومالك وخلائق من السلف:
هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ulama mengatakan, tidak boleh mengambil ilmu
kecuali dari sosok yang sempurna keahliannya, jelas agamanya, valid
pengetahuannya, dan masyhur keterjagaan dan kemuliannya. Berkata Ibnu Sirin, Malik dan beberapa
ulama salaf; ilmu ini agama, maka lihatlah dari mana engkau mengambil agama
kalian”. (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 1, hal. 66).
PENGERTIA RASM
AL-QURAN
Rasm berasal dari kata Rasama
Yarsamu yang berarti menggambar atau melukis. Rasm Al-Quran berarti
adalah tulisan Al-Quran, baik dalam penulisan lafadznya maupun dalam penulisan
bentuk hurufnya. Pada umumnya, penulisan arab sesuai dengan pengucapannya,
tanpa ada penambahan, pengurangan, penggantian, dan perubahan. Namun, tidaklah
demikian dengan Rasm Al-Quran yang sebagiannya tidak selalu sesuai
dengan pengucapannya.
Perlu menjadi pengetahuan pembaca, apa yang dimaksud dengan Rasm ‘Usmany yang merupakan salah satu syarat diperbolehkannya membaca Al-Quran. Rasm Al-Quran ada dua macam:
Pertama , Ar-Rasm Al-Mushaf yang disebut dengan Rasm Usmani, yakni Rasm yang
digunakan tim yang dibentuk oleh ‘Usman untuk menulis Al-quran pada masa
kekhilafahannya. Para ulama sepakat menamainya dengan Rasm Usmany,
karena Khalifah Usmanlah yang merestui dan atau memberi pedoman-pedoman khusus
dalam penulisan mushaf tersebut.
Kedua Rasm Qiyasi, yang disebut juga dengan Rasm Istilahi atau Imlai sebagai Khat (tulisan) yang Mukhtara’ (diciptakan), yang huruf-hurufnya ditulis sesuai dengan bunyi lafadznya dan selaras dengan kaidah-kaidah Imla’ (penulisan) yang ditetapkan para pakar bahasa setelah penulisan mushaf-mushaf Usmany, sesuai dengan perkembangan kebahasaan.
Rasm Al-Mushaf atau Rasm Al-Usmany sebagai Khat
(tulisan) yang muttaba’ (diikuti), sebahagian pola tulisannya berbeda dengan
Rasm Qiyasi atau Rasm istilahi. (Referensi: Ulumul Quran, Penulis Dr. Naqiyah
Mukhtar, M.AgPenerib Stain Press Purwokerto).
Penulis: Rikin
Referensi: Khozinatul Asror, Ulumul Qur'an, al-Majmu’
Syarh al-Muhadzab, Ilmu Tajwid sebuah panduan membaca Al-Quran secara Murattal
dan Mujawwad, yang diterbitkan oleh Tim Penyusun LPTQ Propinsi Jawa Tengah).
Komentar
Posting Komentar