Nikah Siri: Menguak Akar Masalah di Balik Fenomena yang Terus Terjadi
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Nikah Siri: Menguak Akar Masalah di Balik Fenomena yang Terus Terjadi
Nikah siri adalah istilah yang sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat Indonesia. Praktik pernikahan ini dilakukan secara agama, namun tidak dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Meski dianggap sah menurut agama, nikah siri memiliki banyak konsekuensi hukum dan sosial yang tidak bisa diabaikan.
Lantas, mengapa praktik ini masih terus terjadi? Mari kita kupas akar masalahnya secara mendalam.
1. Tidak Diakui Secara Hukum
Salah satu akar utama dari masalah nikah siri adalah tidak adanya kekuatan hukum. Tanpa pencatatan resmi, pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara. Ini berdampak besar, terutama bagi:
Istri, yang tidak bisa menuntut hak nafkah atau perlindungan hukum jika terjadi perceraian.
Anak, yang kesulitan mendapatkan akta kelahiran dengan mencantumkan nama ayah.
Status keluarga, yang tidak tercatat dalam dokumen resmi kependudukan.
2. Alasan Ekonomi: Masih Relevan atau Sudah Usang?
Salah satu alasan klasik memilih nikah siri adalah karena dianggap lebih murah dibandingkan menikah secara resmi. Biaya pesta, mahar, atau urusan administrasi kadang dipersepsikan sebagai beban berat, terutama bagi pasangan dengan keterbatasan finansial.
Namun, alasan ini sebenarnya tidak lagi relevan di zaman sekarang.
✅ Faktanya, biaya pencatatan nikah di KUA adalah gratis, asalkan pernikahan dilakukan di kantor KUA dan sesuai jam kerja. Biaya baru dikenakan jika pernikahan dilakukan di luar kantor atau di luar jam kerja, dan itupun masih sangat terjangkau.
✅ Pemerintah juga telah menyederhanakan proses administratif pernikahan resmi, sehingga masyarakat tidak perlu bingung atau terbebani biaya berlebih.
Jadi, jika masalahnya hanya karena dianggap "mahal", itu lebih disebabkan oleh kurangnya informasi atau persepsi yang keliru — bukan kenyataan di lapangan.
3. Jalan Pintas untuk Poligami
Tidak sedikit pria yang menggunakan nikah siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa melalui proses hukum yang sah. Dalam hukum di Indonesia, seorang pria yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari istri pertama dan pengadilan agama. Karena proses ini cukup panjang dan ketat, sebagian memilih jalur siri untuk menghindarinya.
4. Kurangnya Edukasi dan Pemahaman Hukum
Banyak perempuan yang terlibat dalam pernikahan siri tidak mengetahui bahwa:
Mereka tidak memiliki hak hukum jika hubungan berakhir.
Mereka tidak bisa menuntut hak waris atau harta gono-gini.
Anak yang lahir bisa mengalami diskriminasi administratif.
Kurangnya akses informasi dan edukasi hukum menjadi penyebab utamanya.
5. Budaya dan Interpretasi Agama yang Parsial
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa selama pernikahan dilakukan sesuai syariat Islam (ada wali, saksi, dan ijab kabul), maka sah saja tanpa perlu dicatat negara. Namun, pemahaman yang setengah-setengah ini justru membuat banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban.
Agama tidak hanya mengatur sahnya pernikahan, tetapi juga menekankan pentingnya tanggung jawab, perlindungan, dan keadilan dalam rumah tangga.
6. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum
Meski pemerintah mendorong masyarakat untuk mencatatkan pernikahan, pengawasan terhadap praktik nikah siri masih lemah. Belum ada sanksi tegas yang mampu menekan angka pernikahan tanpa pencatatan, terutama di daerah-daerah terpencil.
Kesimpulan: Perlu Solusi Menyeluruh
Nikah siri bukan hanya soal sah atau tidaknya pernikahan di mata agama. Lebih dari itu, ini adalah persoalan perlindungan hukum, keadilan sosial, dan masa depan generasi berikutnya. Untuk mengatasinya, kita butuh solusi menyeluruh:
Menikah secara resmi bukan hanya soal administratif, tapi juga bentuk tanggung jawab terhadap pasangan, keluarga, dan masa depan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar