Berjalan Jauh Tanpa Pegangan Tangan


Berjalan Jauh Tanpa Pegangan Tangan

Di balik setiap pencapaian, selalu ada kisah tentang usaha, ketekunan, dan pengorbanan. Namun tidak semua kisah mendapat panggung. Tidak semua perjalanan yang panjang dan melelahkan akan berakhir di tempat yang layak. Karena terkadang, bukan hanya tentang seberapa keras seseorang berjuang, tapi juga tentang siapa yang menggandeng tangannya sepanjang jalan.

Di banyak ruang kesempatan, relasi diam-diam menjadi kunci yang lebih menentukan daripada kemampuan. Orang-orang yang bertahan dengan prinsip meritokrasi, yang berharap diukur dari kualitas, bukan kedekatan, sering kali justru tercecer di belakang. Mereka yang tidak punya "orang dalam", tidak masuk dalam lingkaran "yang dikenal", harus berjalan lebih jauh, lebih berat, tanpa jaminan akan diakui.

Mereka hadir paling awal, pulang paling akhir. Mereka bekerja tanpa banyak bicara, hanya berharap hasil akan bicara untuk mereka. Tapi nyatanya, di sistem yang terlalu akrab dengan koneksi, suara mereka sering tenggelam oleh nama-nama yang lebih dikenal, meskipun tidak selalu lebih pantas.

"Berjalan jauh tanpa pegangan tangan" adalah potret tentang mereka yang mandiri, bukan karena ingin, tapi karena keadaan memaksa. Tentang mereka yang terus melangkah meski tahu jalan yang mereka tempuh tidak selalu adil. Mereka yang menanam tanpa pamrih, tapi tidak pernah dipanggil saat panen tiba.

Lebih menyakitkan lagi, terkadang keberhasilan orang lain yang datang bukan dari kerja keras, tapi dari kedekatan, menjadi pemandangan yang harus ditelan dengan diam. Bukan iri, bukan dengki—hanya kecewa, bahwa kerja keras saja tak cukup, bahwa integritas tak selalu berujung pada penghargaan.

Namun meski tak ada tangan yang menggandeng, meski tak ada nama besar di belakang punggung, mereka tetap berjalan. Karena bagi mereka, nilai sejati bukan ditentukan oleh sorotan, tapi oleh kejujuran terhadap proses. Mereka tidak melangkah untuk dilihat, tapi karena mereka tahu bahwa diam bukan pilihan.

Pada akhirnya, mungkin tak semua orang bisa berdiri di podium. Tapi sejarah akan mencatat—bahwa pernah ada mereka yang berjalan jauh, tanpa bantuan, tanpa koneksi, tanpa pegangan tangan—namun tetap tegak, tanpa kehilangan harga diri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keberadaan Guru Ngaji TPQ, Madin, dan Majelis Ta'lim di Pelosok Desa: Kontribusi Nyata Pondok Pesantren untuk Umat dan Bangsa

Bobotsari_Monitoring ZI Kankemenag Purbalingga

Dampak Negatif Judi Online: Akar Masalah di Balik Banyak Kasus Kriminal