Skeptis Terhadap Pernikahan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Skeptis Terhadap Pernikahan: Wajar, Tapi Perlu Ditimbang Lagi
Di tengah gempuran realita perceraian, drama rumah tangga, dan beban ekonomi yang makin kompleks, nggak sedikit orang—terutama generasi muda—yang mulai bersikap skeptis terhadap pernikahan. Kalimat seperti:
“Ngapain nikah, ujung-ujungnya ribet.”“Banyak kok yang nikah malah nggak bahagia.”“Sendiri juga bisa bahagia, kan?”
...mulai sering terdengar, dan mungkin kamu pun pernah berpikir atau merasa demikian.
Tapi… apakah sikap skeptis terhadap pernikahan itu salah? Atau justru masuk akal?
Asal-usul Skeptis: Takut, Trauma, atau Logis?
Sebelum menghakimi diri sendiri atau orang lain yang skeptis pada pernikahan, penting untuk tahu dulu dari mana sih rasa itu muncul?
Beberapa alasan umum:
Pengalaman buruk: Lihat orang tua sering bertengkar, teman bercerai, atau pengalaman pacaran yang traumatis.
Takut kehilangan kebebasan: Khawatir nggak bisa ngejar impian atau hidup sebebas sekarang setelah menikah.
Beban ekonomi dan tanggung jawab: Takut tidak mampu secara finansial atau mental untuk membangun rumah tangga.
Ideologi atau prinsip hidup: Menganggap pernikahan bukan jalan wajib untuk bahagia.
Semua alasan itu valid dan manusiawi. Wajar kalau seseorang butuh waktu, bahkan mungkin memutuskan untuk tidak menikah. Namun, yang penting adalah tidak menutup diri secara mutlak tanpa pertimbangan jangka panjang.
⚖️ Dalam Pandangan Islam: Menikah Itu Fitrah, Bukan Paksaan
Islam memandang pernikahan sebagai ibadah dan sarana menyempurnakan agama, tapi bukan sesuatu yang harus dipaksakan jika seseorang memang belum siap atau punya alasan kuat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi Islam juga memberi ruang bagi yang belum mampu atau belum siap:
“Barangsiapa di antara kalian belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu dapat mengekang nafsunya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Islam tidak memaksa, tapi juga tidak menganjurkan untuk menolak pernikahan selamanya hanya karena skeptis tanpa dasar.
Yang perlu dicermati adalah: jangan sampai skeptisisme itu berubah jadi penolakan keras terhadap salah satu sunnah Nabi, apalagi jika dasarnya hanya asumsi, ketakutan berlebih, atau karena ikut tren.
💬 Jadi, Haruskah Kita Menikah?
Menikah atau tidak, itu keputusan pribadi yang harus diambil dengan kesadaran penuh—bukan karena tekanan sosial, bukan pula karena ketakutan irasional. Skeptis boleh, asal diiringi dengan proses berpikir yang jujur dan terbuka.
Coba tanyakan pada diri sendiri:
Apakah saya takut menikah, atau hanya belum bertemu orang yang tepat?
Apakah saya menolak pernikahan, atau hanya belum siap sekarang?
Apakah saya melihat pernikahan dari kacamata trauma dan ketakutan, atau dari sisi fitrah dan potensi kebaikannya?
🧠Menjaga Keseimbangan: Kritis tapi Tidak Sinis
Skeptis yang sehat akan membuat kita lebih selektif, berhati-hati, dan sadar akan tanggung jawab besar dalam pernikahan. Tapi skeptis yang berlebihan bisa menutup peluang untuk tumbuh, berbagi, dan mencintai dalam konteks yang diberkahi.
Mungkin bukan sekarang. Mungkin butuh waktu. Tapi tetaplah terbuka. Karena pernikahan yang tepat, di waktu yang tepat, dengan orang yang tepat—bisa jadi anugerah yang luar biasa.
✍️ Penutup
Menjadi skeptis terhadap pernikahan bukan dosa. Tapi jangan biarkan skeptisisme itu membatasi hidupmu dari sesuatu yang bisa jadi sumber kebaikan besar.
Kalau kamu belum ingin menikah sekarang, itu nggak apa-apa. Tapi tetap jaga hatimu tetap terbuka. Jangan menolak hal baik hanya karena pengalaman pahit yang belum tentu akan terulang.
💠Bagaimana menurutmu? Pernah merasa skeptis tentang pernikahan? Ceritakan di kolom komentar ya!
Kontributor : Rikin
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar